Kalselupdate.my.id, Banjarmasin – Senin, 2 September 2024, yang seharusnya menjadi hari penuh harapan bagi peningkatan kualitas pendidikan di Kalimantan Selatan, justru berubah menjadi ajang perdebatan tajam antara etika dan kekuasaan. Rapat Koordinasi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan SMK tahap II, yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalimantan Selatan, tiba-tiba berubah menjadi medan pertempuran mengenai etika.

Awalnya, acara tersebut berjalan lancar, dengan Amalia Wahyuni, salah satu peserta rapat, merasa terkesan dengan arahan panitia yang meminta peserta untuk tidak menggunakan ponsel saat Kepala Disdikbud (Kadisdikbud) memasuki ruangan. Arahan ini dianggap sebagai refleksi dari seorang pemimpin yang berwibawa dan disiplin, layak dihormati sepenuhnya.

“Saya sangat menghargai arahan tersebut karena saya yakin, seorang pemimpin di bidang pendidikan harus menjadi teladan dalam sikap dan perilaku,” ungkap Amalia ketika ditemui oleh awak media di kediamannya pada Selasa (3/9/2024).

Namun, ekspektasi Amalia hancur seketika saat Kadisdikbud memasuki ruangan dengan penampilan yang mengejutkan. Alih-alih tampil rapi dan penuh wibawa, Kadisdikbud hadir dengan mengenakan sandal dan memegang sebatang rokok yang menyala. Di dalam ruangan ber-AC, asap rokok tersebut menyebar, mengganggu kenyamanan para peserta rapat yang seharusnya fokus pada diskusi serius terkait masa depan pendidikan.

Amalia, dengan penuh kesopanan, mencoba menegur Kadisdikbud.

“Mohon maaf Pak, saya tidak tahan dengan asap rokok,” ucapnya dengan harapan agar Kadisdikbud memahami situasi tersebut.

Namun, respons yang diterima jauh dari yang diharapkan. Kadisdikbud tidak hanya mengabaikan teguran itu, tetapi juga memerintahkan Amalia untuk keluar dari ruangan. Ini menjadi momen di mana penghormatan terhadap bawahan seolah dianggap remeh, sementara menghormati atasan dipandang sebagai kewajiban mutlak.

Situasi semakin memanas ketika Kadisdikbud menanyakan tempat kerja Amalia, seolah menggunakan ancaman sebagai alat untuk menunjukkan kekuasaannya. Namun, Amalia tetap tenang.

“Bapak minta dihargai, namun bapak tidak menghargai saya,” jawabnya dengan tegas, menunjukkan keberanian luar biasa di hadapan atasannya.

Amalia menyadari bahwa tindakannya yang berani ini mungkin akan berdampak serius, termasuk risiko pemecatan. Namun, ia tetap teguh pada prinsipnya.

“Jika karier saya sebagai guru harus berakhir karena hal ini, saya terima dengan lapang dada. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya,” ungkapnya dengan penuh keyakinan.

Insiden ini memicu pertanyaan besar di kalangan peserta rapat dan masyarakat: Apakah seorang pemimpin pendidikan, yang seharusnya menjadi teladan, dapat menunjukkan perilaku yang jauh dari etika? Bagaimana bisa seseorang yang berada di dunia pendidikan mempertontonkan sikap yang demikian?

Dalam situasi ini, Amalia menutup pernyataannya dengan kalimat yang menggetarkan hati,

“Ingatlah, Pak, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Utamakan adab di atas ilmu, karena tanpa adab, ilmu hanya menjadi tirani.”

Rapat yang awalnya diharapkan menjadi ajang solusi bagi kekerasan di lingkungan pendidikan, justru berubah menjadi cermin buram dari ketimpangan etika dan kekuasaan di dunia pendidikan.

Saat awak media mendatangi Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengonfirmasi masalah tersebut, pihak keamanan mengatakan bahwa Kadisdikbud tidak berada di kantor.

“Bapak sejak pagi tadi tidak ada di kantor, dan saya tidak mengetahui beliau ada kegiatan di mana,” kata pihak keamanan yang enggan disebutkan namanya. ( Di )

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.